Kegiatan Yang Dilarang dalam Hubungan Bisnis

Kegiatan Yang Dilarang dalam Hubungan Bisnis

Menurut UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, beberapa kegiatan yang dilarang adalah sebagai berikut :
a)      Monopoli,
beberapa kriteria monopoli :
a.       Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b.      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa apabila :
1.      barang dan jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
2.      mengakibatkan pelaku usaha laini tidak dapat masuk dalam persaingan dan jasa yang sama.
3.      satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, jenis barang dan jasa tertentu.
b)      Monopsoni,
menurut pasal 18 UU No 5 Tahun 1999, dilarang praktek monopsoni sbb :
a.       Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
b.      Pelaku usaha pataut diduga dianggap menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
c)      Penguasaan Pasar.
            Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a.       mengolah dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
b.      menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
c.       melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d)     Persekongkolan.
            Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU No 5 Tahun 1999 dalam pasal 22 sampai dengan pasal 24, yaitu :
a.       dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b.      dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c.       dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi, pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.
e)      Posisi Dominan.
            Dalam Pasal 1 angka 4 UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti, dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai sebagai pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar
Read More
Perjanjian Yang diLarang dalam Hubungan Bisnis

Perjanjian Yang diLarang dalam Hubungan Bisnis


1)      Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian, maka :
a)      pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b)      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama dan atau melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


2)      Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a)      perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
b)      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c)      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d)     Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan.
3)      Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.


4)      Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
a)      merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b)      membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
5)      Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6)      Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7)      Oligopsoni
a)      pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b)      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


8)      Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9)      Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
a)      harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b)      tidak  akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.


10)  Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Read More
Akibat Perjanjian yang tidak dikenakan Materai

Akibat Perjanjian yang tidak dikenakan Materai

oleh Estomihi Simatupang Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Mpu Tantular
Bea Materai Menurut UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dokumen yang dikenakan bea materai terdapat padapasal 2 UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai. 
Menurut UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai bahwa surat perjanjian adalah termasuk dokumen yang dikenakan bea materai, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 2 ayat 1 (a) yang  menyatakan "Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata". 

Surat perjanjian yang tidak dikenakan materai maka surat perjanjian tersebut menjadi terhutang materai, hal ini dapat ditemukan pada pasal 5 point (b) "dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat" dan sanksi bagi dokumen yang seharusnya dikenakan materai menurut UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai baik dengan cara disengaja atau tidak disengaja dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi ini dapat dilihat pada pasal 8 ayat 1 yang menyatakan "Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar".
Menurut Pasal 8 ayat 2, Surat perjanjian yang terlanjur ditanda tangani tanpa dikenakan materai menjadi status terhutang materai yang dapat dilunasi atau dikenakan materai dengan cara melunasi bea materai terhutang ditambah dengan dendanya (pasal 8 ayat 1). Pengenaan materai dengan cara seperti ini dinamai dengan pemeteraian kemudian. Tata cara pemeteraian kemudian ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
Surat perjanjian yang seharusnya dikenakan materai menurut UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai harus dikenakan materai maka Surat Perjanjian tersebut oleh Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; b. melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya. Bagi surat perjanjian yang dibuat 5 tahun sejak tanggal perjanjian dibuat, maka kewajiban pemenuhan materai untuk perjanjian daluarsa atau tidak berlaku, hal ini dapat dilihat pada Pasal 12 yang menyatakan "Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat"
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa :
  1. Bahwa dikenakan atau tidaknya materai pada surat perjanjian tidak mengakibatkan tidak sahnya perjanjian tersebut. Karena syarat sahnya suatu perjanjian menurut  pasal 1320 KUH Perdata.apabila telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektik, yaitu pasal 1321, 1330, 1331,1332, 1335,1337 KUH Perdata.
  2. Bahwa dengan tidak dikenakanya materai pada surat perjanjian bukan berarti Negara tidak mengakui perjanjian atau membatalkan perjanjian tersebut tetapi negara tidak dapat ikut campur tangan terhadap perjanjian itu baik sebagai bukti dipengadilan maupun untuk dilegalesir oleh notaris dan lain sebagainya.
  3. Bahwa surat perjanjian yang dibuat 5 tahun sejak tanggal perjanjian dibuat, maka kewajiban pemenuhan materai untuk perjanjian daluarsa atau tidak berlaku, hal ini dapat dilihat pada Pasal 12.
  4. Bahwa Surat perjanjian yang terlanjur ditanda tangani tanpa dikenakan materai menjadi status terhutang materai yang dapat dilunasi atau dikenakan materai dengan cara melunasi bea materai terhutang ditambah dengan dendanya (pasal 8 ayat 1). Pengenaan materai dengan cara seperti ini dinamai dengan pemeteraian kemudian
referensi :
  1. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
  3. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Materai

Read More